Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bir itu menjadi halal bagiku, by Risfi Syarif

Saya melihat seorang pemuda tampan, mBody, dan smart. Duduk didepan meja sebuah bar, kemudian minum segelas bir…
Sehari kemudian, saya melihat seorang kakek minum satu botol besar bir sekali minum tanpa jeda…
Dua hari kemudian, saya melihat superhero itu minum lima gelas bir…
Tiga hari kemudian, saya melihat gadis yang mabuk, tetapi meneruskan untuk minum bir…
Empat hari kemudian, saya melihat gerombolan pemuda yang ‘baik’ berpesta dengan minum bir…
Lima hari kemudian, saya melihat seorang biksu minum bir …
N hari kemudian, saya melihat lagi orang minum bir…
Semua yang disebutkan diatas, saya lihat di televisi. Dari berbagai negara, dengan berbagai kondisi. Pada awalnya, batin saya menolak keras, alias bilang “Wah… ini perbuatan haram!!!”. Tetapi hari kedua, ketiga, keempat… akhirnya batin saya pun tumbang alias bilang “Ah… itu perbuatan yang biasa aja”. Dengan kata lain alam bawah sadar saya tidak memberontak ketika melihat perbuatan haram tersebut. Dengan nyantainya tidak protes. Akhirnya, minum bir itu menjadi ‘halal’ bagiku, meskipun otak sadarku masih bilang haram.
Pelajaran yang bisa diambil adalah, apa yang saya dengar, apa yang saya  rasakan, apa yang saya lihat pasti akan mempengaruhi saya. Jika sedikit demi sedikit dicerca terus, maka prinsip itu akan tumbang. Itu baru masalah minum bir. Hal lain yang bisa terjadi adalah, perbuatan violence seperti vandalism, sadis, kasar, jahat, kejam, pembunuhan, lama kelamaan batin kita menjadi bilang “Ah.. biasa”. Prinsippun akan tumbang.
Jika lebih parah, pengaruh itu akan men-drive kita untuk melakukkannya. Contoh ilmiahnya adalah game GTA (Grand Thief Auto), terlalu banyak anak-anak atau pengguna game yang melakukkan kekerasan pada dunia nyata. Ya.. itu karena batin mereka bilang “Ah… itu biasa.!!!”.
Bisa jadi, bagaimana cara kita bicara, berjalan, bergerak, bersosial, berpakaian, makan dan berfikir, itu yang terpengaruhi lingkungan sekitar. Mencari lingkungan memang harus PILIH-PILIH. Tidak ada cara lain.
Salah satu kisah yang terkenal adalah seorang pembunuh 100 orang yang ingin bertaubat. Ketika dia ingin bertaubat, maka ia harus menjadi baik. Syaratnya adalah pindah dari lingkungan yang buruk menuju ke lingkungan yang baik. Meskipun dalam perjalanan pindahnya dia menemui ajal.
Dalam penilaian baik atau burukpun itu masih relatif. Bagi golongan tertentu perbuatan minum bir itu baik, tapi bagi golongan itu buruk. Karena ukuran baik buruk itu relatif. Solusinya adalah mencari ukuran mutlak untuk baik buruk. Sebuah ukuran yang bisa dipakai di lintas golongan, lintas zaman, bahkan lintas dunia akhirat. Yaitu, agama.
Sumber : Beruangbuku dot wordpress dot com

Posting Komentar untuk "Bir itu menjadi halal bagiku, by Risfi Syarif"